Minggu, 18 November 2018

MENGHARUKAN, BEGINILAH LIKA LIKU KEHIDUPAN SUNAN GIRI




Wali atau ulama yang satu ini merupakan keturunan ke-23 dari silsilah Rasulullah SAW, sedangkan jika dilihat dari silsilah ibunya, Sunan Giri merupakan keturunan dari Raja Majalahit yakni Hayam Wuruk. Berdasarkan silsilah tersebut, Sunan Giri adalah benar-benar sebagai seorang keturunan bangsawan disamping keturunan seorang ulama. Sunan Giri memiliki nama asli yakni Raden Paku. 

Nama Raden Paku sendiri diberikan oleh Sayyid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat)  atau Sunan Ampel yang didasarkan dari pesan ayahnya sebelum meninggalkan Jawa Timur. Sunan Giri mempunyai sebutan lainnya, di antaranya: Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata dan Jaka Samudra. Nama Jaka Samudra sendiri diberikan oleh ibu angkatnya, sementara Prabu Samata merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugerah tuhan ketika Sunan Giri menjabat sebagai penguasa atau sultan di wilayah Giri Gresik. Di antara sekian banyaknya nama atau sebutan yang diberikan kepada Sunan Giri menggambarakan betapa terkenalnya beliau di masyarakat disebabkan jasa besar yang diberikan Sunan Giri kepada masyarakat di Nusantara (Asia Tenggara). 

Sunan Giri lahir pada tahun 1365 Saka/ 1443 Masehi di Blambangan, Jawa Timur. Beliau adalah anak dari Syaikh Maulana Ishaq, hasil perkawinannya dengan putri Blambangan. Dimana masyarakat Jawa lebih mengenalnya dengan nama Dewi Sekardadu. Diceritakan bahwasannya Syikh Maulana Ishaq atau Syeh Wali Lanang awal mulanya sengaja datang ke tanah Jawa untuk berdakwah di Nusantara, beliau juga terrcatat sebagai Wali Songo periode pertama.

Ketika diberi tugas untuk berdakwah di ujung timur pulau Jawa tepatnya di kerajaan Blambangan, kondisi puteri raja saat itu sedang sakit dikarenakan wabah yang menyerang Blambangan. Maka oleh raja Blambangan, Syaikh Maulana Ishaq diminta untuk mengobati puteri tersebut. Syaikh Maulana Ishaq pun berhasil mengobati Puteri dari raja Blambangan, sebagai ucapan terima kasih dari sang raja maka beliau pun dinikahkan dengan puteri tersebut. Namun siapa sangka, keinginan Syaikh Maulana Ishaq untuk membawa sang raja menjadi seorang muslim mendapat penolakan sang patih, agar tidak terjadi pertentangan maka Syaikh Maulana Ishaq pun pergi meninggalkan istana.

Pada saat itu, Dewi Sekardadu dalam keadaan hamil tua dan tidak berapa lama kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki, yaitu Sunan Giri. Sunan Giri sejak dalam kandungan sudah mengalami cobaan, dimana ia ditinggalkan oleh ayahnya untuk berdakwah, ketika dilahirkan ia dibuang oleh Raja Menak Sembuyu atas hasutan Patih Bajul Sengara dengan cara dimasukkan ke dalam peti kemudian dibuang ke laut. Sunan Giri ditemukan oleh seorang bangsawan yang sedang berlajar beliau adalah Nyai Ageng Pinatih seseorang yang sudah tidak bersuami dan tidak memiliki anak.

Nyai Ageng Pinatih juga dikenal dengan nama Nyai Gede Tandhes, seorang wanita bangsawan terhormat di Gresik. Sewaktu Sunan Giri berumur 12 tahun, ia dibawa ibu angkatnya ke pesantren Ampel Denta Surabaya, yang mana Sunan Ampel sendirilah yang mengajarinya. Sunan Giri dikenal genius, rajin dan selalu mentaati gurunya. Ia memiliki kelebihan-kelebihan dan keistimewaan sejak kecil sehingga Raden Rahmat atau sunan Ampel mengangkat Sunan Giri menjadi anak angkatnya dengan dipersaudarakan Syaikh Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

Sunan Giri lalu dinikahkan dengan saudara perempuan dari Syaikh Maulana Makdum Ibrahim yakni Dewi Murtashiyah, puteri Sunan Ampel dengan Nyai Karimah kembang kuning. Selain menikahi puteri Sunan Ampel, Sunan Giri juga menikahi Dewi Wardah, puteri dari Kyai Ageng Bungkul atau Sunan Bungkul, seorang pembesar kota Surabaya yang masih keturunan Majapahit.

Setelah merasa cukup ilmu, Sunan Giri membuka pesantren di daerah perbukitan Desa sidomukti, Kecamatan Kebomas, Gresik. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pesantren itu pun kemudian berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang dikenal dengan nama Giri Kedaton. Masa pemerintahan Sunan Giri di Giri Kedaton berlangsung dari 1487 M s/d 1506 M. Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M. Namun dalam masa  masa ini beliau kehilanggan sosok yang merawatnya sejak kecil yakni kewafatan sang ibunda angkat Nyai Ageng Pinatih sehingga beliau menunda pembukaan pesantrennya dalam beberapa waktu.

Kiprah Dakwah Sunan Giri dalam Perkembangan Islam di Nusantara
Sumber tradisi Jawa menuturkan perjuangan Sunan Giri dalam mendapatkan lokasi yang strategis seperti yang disarankan oleh guru sekaligus ayahandanya Syaikh Maulana Ishaqdilakukan dengan menyiapkan segala kekuatan fisik maupun mental spiritual, bermunajat kepada Allah SWT disertai dengan khadamnya. Berjalan melewati bukit, hingga tibalah ia disebuah tempat yang sekarang terletak di Desa Sidomukti, Kecamatan Kebomas, Gresik.

 Di tempat inilah Sunan Giri mendirikan masjid dengan pesantren serta rumah untuk para keluarganya. Pada taraf perkembangannya, tempat tersebut menjadi pusat kekuasaan Giri dengan terwujudnya Giri Kedaton.  Ketika Raden Rahmat meninggal (1475 M), Ampel Denta dan Gresik digabungkan atas izin raja Majapahit.

Dalam perkembangan selanjutnya, pusat dakwah yang telah didirikan oleh Sunan Giri mengalami perkembangan fungsi, yang pada awalnya sebagai pusat aktivitas pendidikan agama berkembang menjadi pusat kegiatan politik. Hal ini diceritakan di buku “Babad Hing Gresik” : Raden Paku (Sunan Giri) hanggenipun babat-babat hung nedi kedaton dampun dados wewengkon dalem, saha sampun dados kedaton tunda sapta, sepale kangge shalat sepale kangge tilem”.

Munculnya Giri Kedaton, membawa dampak positif bagi perkembangan Islam di wilayah Giri. Kedaton yang dilambangkan sebagai lambang kebesaran dan kemegahan bagi pemerintahan yang syah menambah kewibawaan pemimpin atau raja yang berkuasa. Sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yakni adanya : alun-alun, istana dan pasar.

Pertumbuhan Giri Kedaton mencakup lembaga pendidikan dan pusat pemerintahan ulama. Sebagai lembaga mendidikan, Giri Kedaton menjadi madrasah tempat beliau mengajar agama islam kepada para santrinya, yang dikenal dengan madrasah Giri atau pesantren Giri. Sebagai pusat pemerintahan ulama, ini diawali dari kemerosotan pemerintahan Majapahit. Melihat kejayaan pemerintahan Sunan Giri, maka penguasa Majapahit saat itu berusaha menumbangkan kejayaan Sunan Giri namun bukan kemenangan yang didapat melainkan kegagalan. Untuk tetap menjaga kestabilan Majapahit saat itu, maka raja Majapahit mengakui dan menjadikan Sunan Giri beserta Sunan Ampel menjadi orang-orang besar kerajaan Majapahit. Setelah mendapatkan pengakuan tersebut, Sunan Ampel dan Sunan Giri beserta tokoh agama lainnya, menjadikan Giri Kedaton sebagai pusat dakwah. Inilah salah satu metodedakwah Wali Songo dapat diterima semua kalangan karena akhlaq dari Wali Songo yang sangat luhur dan bijaksana seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam berdakwah.

Metode Dakwah Sunan Giri
Sunan Giri sebagai penggerak Islam yang berpusat di Giri Kedaton, tidak luput dari peranannya dengan metode dakwah seperti yang dilakukan para penyebar Islam lainnya, yaitu dengan mendirikan pesantren guna mendidik anak-anak negeri dengan pengetahuan agama. Selain itu, upaya yang dilakukan Sunan Giri dalam mendekatkan Islam kepada anak-anak yakni dengan menciptakan lagu serta permainan dengan memasukkan unsur-unsur jiwa agamis.

Di antara permainan anak-anak yang diciptakan oleh Sunan Giri yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur adalah “Jelungan” atau “Jitungan”. Dalam permainan ini disimbolkan dengan satu tonggak kayu atau pohon yang kuat. Adapun filosofi dari permainan ini adalah mengajarkan manusia tentang keselamatan hidup yakni dengan cara berpegang teguh pada agama. Selain itu Sunan Giri juga menciptakan lagu atau tembang yakni “Dolanan Bocah” dan “Ilir-ilir”.  

Contoh Keteladanan dari Sunan Giri
Keteladanan yang dapat kita petik dari kisah Sunan Giri bahwasanya dalam menyebarkan Islam, tentunya diperlukan strategi-strategi agar kegiatan dakwah kita berjalan baik dan mengalami perkembangan. Strategi yang ditunjukkan Sunan Giri khususnya dalam bidang politik yakni dengan menjadi “Sang Propaganda Ulung”, dimana ia mampu menaklukkan Majapahit tanpa harus mengorbankan pertumpahan darah sehingga akhirnya Majapahit mengakui kekuasaan beliau dan memberikan kebebasan dalam berdakwah.

Menjadi seorang ulama tentunya tidak hanya pengetahuan agama yang diperlukan, namun juga kepintaran dalam pengetahuan umum, dan juga kemampuannya dalam bernegosiasi dan kepemimpinannya di pemerintahan. Karena itu, salah satu cara agar keberadaan kita diakui oleh pemerintahan adalah dengan ikut berkecimpung dalam bidang politik sehingga dengan pengakuan dan legalitas yang kita dapatkan diharapkan menjadi kemudahan bagi kita dalam menyebarkan Islam. 

Jejak Sejarah yang dapat dikunjungi
Adapun jejak sejarah yang dapat kita kunjungi yakni dengan mendatangi makam sunan Giri. Ini bukan hanya sekedar makam biasa, namun dijadikan sebagai wisata. Yang mana pada gapura pintu masuk makam tersebut terbuat dari batu yang berbentuk sepasang kepala naga raja, bangunan beratap di atas makam sebagai pelindung makam terbuat dari kayu jati asli, dindingnya terdiri dari panel (disebut juga lumber sering) tumbuh-tumbuhan, sedangkan pintu cungkup terdapat ukiran bermotif hindu yang dipadukan dengan motif islami yaitu tumbuh-tumbuhan. Selain itu terdapat Giri Kedaton di Desa Sidomukti, yang tak jauh dari makam Sunan Giri. Disana terdapat bangunan yang menjadi saksi bisu pusat kejayaan Islam di Nusantara hingga mancanegara.

Sumber :
Muntaha, Moh. 1993. SUNAN GIRI ( Studi Tentang Eksistensinya dalam Kedaton Giri Dresik). IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Santosa, Budi., Antariksa dan Lisa Dwi Wulandari. 2014. Dinamika Ruang Wisata Religi Makam Sunan Giri di Kabupaten Gresik. Jurnal el Haraqah Vol. 16 No.2.



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.