Nama asli
Kanjeng Sepuh adalah Raden Adipati Soeryadiningrat. Beliau adalah salah satu
bupati di Kabupaten Sidayu. Kanjeng Sepuh tersohor lantaran beliau adalah
seorang ulama. Disamping itu beliau juga memiliki leadership yang tinggi.
Ketulusannya untuk selalu memihak pada yang lemah, dan selalu dekat dengan
rakyat kecil itulah yang membuat Kanjeng Sepuh sangat dicintai rakyatnya.
Asal- usul Sidayu memiliki banyak cerita, diantaranya ialah berasal dari
cerita Empu Supa, pada suatu ketika, Raja Blambangan memerintahkan orang
suruhannya mencuri salah satu pusaka kerajaan Majapahit. Pusaka itu berupa
keris yang diberi nama Sumelang Gandring. Raja Majapahit tersebut lantas
membuat sandiwara, “ Barang siapa berhasil mendapatkan keris Sumelang Gandring
tersebut, maka ia akan mendapatkan hadiah berupa lahan hutan yang lokasinya
terletak antara Tuban dan Grissee “. Maka berlomba- lombalah para pendekar
untuk memperebutkan hadiah tersebut, satu persatu mereka gagal. Hutan
Blambangan terlalu ganas untuk mereka tempuh, belum lagi kesaktian rajanya.
Jadi untuk mendapatkan kembali keris pusaka kerajaan tersebut impossible.
Tetapi ada seorang pembuat keris yang sakti. Namanya Empu Supa, dialah yang
membuat pusaka- pusaka bagi Giri Kedaton. Ia mencoba mengikuti sayembara itu,
bukan semata-mata untuk menginginkan door price yang dijanjikan oleh raja
Majapahit tersebut. Namun niatnya benar- benar tulus bahwa ia memang ingin
menunjukkan pengabdiannya pada kerajaan Majapahit. Sayang tidak ada yang
mengetahui bagaimana Empu Supa bisa menembus Kraton Blambangan, yang jelas
sesuai deadline ia berhasil membawa kembali keris Sumelang Gandring itu dan
mempersembahkan pada rajanya.
Raja Majapahit itu memenuhi janjinya, ia memberikan sebidang lahan hutan
yang terletak antara Tuban dan Grissee. Kemudian bersama para pengikutnya Empu
Supa pun mulai mbabat alas wilayah itu. Dan lahan hutan yang di babat oleh Empu
Supa itulah yang kelak menjadi sebuah wilayah yang diberi nama Sidayu.
Pada tahun 1817 seorang bernama Raden Adipati suryodiningrat, Putra selir
Sayyid Abdur Rohman Siruwun Solo, mulai dibenum menjadi bupati di Sidayu.
Beliau terkenal diseluruh Kabupaten Sidayu dengan nama KANJENG SEPUH. Kanjeng
Sepuh memerintah Sidayu mulai tahun 1817 hingga meninggal tanggal 9 Maret 1856,
jadi selama 39 tahun beliau memerintah kabupaten Sidayu.
Sebutan ini tidak saja disebabkan kesaktian dan semangat keberanian, kepahlawanan
sebagai seorang bupati kepada pemerintah Belanda saja, akan tetapi juga karena
alim dan waro’nya, serta jujur dan ikhlashnya, terutama beliau adalah termasuk
satu-satunya tokoh ulama’ islam yang sangat aktif memperjuangkan agama islam
diseluruh kabupaten Sidayu.
Sebagian dari keberanian dan kesaktian beliau adalah sebagai berikut:
- Beliau dengan terus terang melarang kepada kepada siapa pun terutama
kepada pemerintah Belanda untuk menginjak dalemnya (rumahnya) sebelum
mendapat ijin dari beliau, demikian pula apabila kebetulan sedang tidur.
Pelanggaran terhadap larangan ini mengakibatkan senewenya (gilanya)
yang melanggar.
- Pada waktu pemerintah Belanda akan mendirikan sebuah pasar yang sangat
besar di Surabaya, untuk ini bupati-bupati di seluruh Jawa dipanggil ke
Surabaya untuk diminta pertimbangannya mengenai pajak dan nama pasar.
Dalam hal ini semua bupati satu pun tidak ada yang berani mengutarakan
pendapatnya, kecuali Kanjeng Sepuh sendiri. Beliau berkata:Tuan-tuan,
pajak ini janganlah dimintakan pertimbanagan dari para bupati, yang
akan membebankan rakyat. Akan tetapi lebih baik kalau Tuan-tuan
menanyakan “Kapankah kita mulai berperang melawan si penjajah”. Tentang
pasar saya setuju diberi nama “Pabean”.
Pemerintah Belanda setelah melihat sambutan para bupati seluruhnya yang
sanagat riuh itu, maka diterangkan bahwa:
- Soal pajak tidak usah dibicarakan.
- Soal nama setuju dengan pendapat Bupati Sidayu.
Dengan keputusan ini, maka sebagian penduduk banyak mengundang bupati
Kanjeng Sepuh untuk datang ke rumahnya pada besok pagi pukul 08:00 tepat. Dan
beliau menyatakan kesediaannya. Pukul 08:00 tepat, beliau sudah datang di semua
para pengundang dalam waktu bersamaan. Sepulang beliau dari Surabaya kapan saja
para pengundang dihebohkan dengan kebanggaan para pengundang yang antara lain
mengatakan, bahwa Kanjeng sepuh pada pukul 08:00 tepat datang di rumahnya,
seorang pengundang lainnya menyanggkalnya, sebab pada waktu yang sama berada
pada rumah orang tersebut; demikian pula yang lain menyatakan hal serupa. Maka
percekcokan pun menjadi ramai, yang akhirnya dapat diinsyafi bahwa hal ini
adalah dari keramatnya Kanjeng Sepuh.
Konferensi seluruh bupati yang biasanya diadakan di Madura bagi Kanjeng
Sepuh tidak mau berangkat sebelum jam 08:00 pagi, padahal pada jam 08:00 itulah
konferensi dimulai, sedang kebanyakan para bupati telah lama sama berangkat
sehari sebelum konferensi. Tepat pukul 08:00 Kanjeng Sepuh naik kereta
Kencana-nya, yang terkenal dengan cemetarnya pecut (cemeti) itu dan dalam
sekejab mata saja beliau sudah tiba di Madura dengan kereta dan kudanya.
Pada suatu waktu para Kyai di seluruh Sidayu diminta pertimbangan bagaimana
enaknya Gamelan dan Gong-gong ini dibuat? Para Kyai sama takut menjawabnya, dan
akhirnya Kyai Musyafaklah yang menjawab dengan tegas, enaknya gamelan dan
gong-gong itu ditanam (dipendam) saja. Keputusan ini dapat disetujui oleh
Kanjeng Sepuh.
Adat istiadat kelakuan Kanjeng Sepuh:
- Hampir setiap malam beliau jarang tidur. Dalam waktu yang sunyi senyap
itu sebagian besar digunakan untuk keliling di tiap-tiap kampung
mendengarkan sendiri dan menyaksikan sendiri keluh kesah penduduk desa
yang kelaparan, sakit atau penderitaan yang lain: terutama bila ada anak
yang menangis, malam itu juga beliau memberikan bantuan berupa uang atau
obat-obatan yang ditaruh di muka pintu rumah penduduk tersebut.
- Beliau tidak segan-segan memberikan nasehat soal-soal agama Islam baik
pada para alim ulama’ maupun kepada masyarakat dalam daerah wilayah
Kabupaten Sidayu sehingga beliau terkenal sebagai pelopor/pelindung para
Kyai.
Beberapa peninggalan beliau yang sampai kini masih sangat terasa manfaatnya
pada masyarakat dalam daerah wilayah kabupaten Sidayu adalah sebuah telaga yang
terkenal dengan “Telogo Rambit”. Telaga ini airnya tidak pernah berubah, tetapi
jernih dan segar sekalipun dimasuki oleh air bah (banjir) yang biasanya sangat
keruh itu. Sedang rasanya pun sedikit manis dan dingin.
Peninggalan yang
kedua ialah Sumur Dahar yang berada di desa Golokan Sidayu, pun airnya jernih,
manis dan dingin serta segar rasanya, tetapi kini tampak tidak terawat.
Di Desa Lowayu ada juga peninggalaan Kanjeng Sepuh
yang di beri nama “Kali Sumpet”, konon Kanjeng Sepuhlah yang mempunyai gagasan
untuk menyumpet (membendung) sungai itu agar Desa Lowayu tidak kekurangan air
pada waktu musim kemarau.
Kanjeng Sepuh bukanlah satu-satunya Kanjeng yang
bermulaan dibenum di Sidayu, tetapi beliau adalah yang termasuk yang ke-8 dari
jumlah sepuluh Kanjeng yang dibenum di Sidayu. Hanya saja karena beliau yang
keramat. Beliau mempunyai sifat wali, sakti, berani dan alim. Maka beliaulah yang
dikeramatkan dan menjadi sasaran seluruh masyarakat, baik yang dari penduduk
Sidayu maupun yang luar Sidayu, sehingga pada tiap-tiap tahunnya tidak kurang
dari 10 ribu orang laki-laki dan perempuan yang berziarah ke makam Kanjeng
Sepuh Sidayu.
Masjid
Jamik Sidayu pertama didirikan pada tahun 1178 H bertepatan dengan tahun 1758
M. Didirikan oleh Raden Kromowidjojo Bupati Pertama Sidayu yang dibantu oleh
Raden Kanjeng Suwargo atau Tawang Alun dari Madura. Kemudian, pembangunan
Masjid Tersebut disempurnakan oleh : Kanjeng Kudus (Bupati Keenam), Raden
Adipati Soeryadiningrat (Bupati Kedelapan), Kanjeng Pangeran (Putera Kanjeng
Sepuh) Bupati kesembilan dan H.M. Thahir Surakama (Dermawan Sidayu). Tapi
Masjid tersebut lebih dikenal dengan Masjid Kanjeng Sepuh, bahkan tombak pusaka
Kanjeng Sepuh masih ada didalam Masjid tersebut.
Sumber: Riwayat singkat Kanjeng Sepuh Sidayu Jawatan
Penerangan RI kecamatan Sidayu, berdasarkan keterangan dari orang-orang yang
tertua dan keturunan Kanjeng Sepuh,
Penyusun: Alm.KH.Ridlwan Ahmad.
Serta dari berbagai sumber lainnya.