Wali atau ulama yang satu ini
merupakan keturunan ke-23 dari silsilah Rasulullah SAW, sedangkan jika dilihat
dari silsilah ibunya, Sunan Giri merupakan keturunan dari Raja Majalahit yakni
Hayam Wuruk. Berdasarkan silsilah tersebut, Sunan Giri adalah benar-benar
sebagai seorang keturunan bangsawan disamping keturunan seorang ulama. Sunan
Giri memiliki nama asli yakni Raden Paku.
Nama
Raden Paku sendiri diberikan oleh Sayyid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat) atau Sunan Ampel yang didasarkan dari pesan
ayahnya sebelum meninggalkan Jawa Timur. Sunan Giri mempunyai sebutan lainnya,
di antaranya: Ainul Yaqin, Abdul Faqih, Prabu Satmata dan Jaka Samudra. Nama
Jaka Samudra sendiri diberikan oleh ibu angkatnya, sementara Prabu Samata
merupakan suatu gelar kebesaran sebagai anugerah tuhan ketika Sunan Giri menjabat
sebagai penguasa atau sultan di wilayah Giri Gresik. Di antara sekian banyaknya
nama atau sebutan yang diberikan kepada Sunan Giri menggambarakan betapa
terkenalnya beliau di masyarakat disebabkan jasa besar yang diberikan Sunan
Giri kepada masyarakat di Nusantara (Asia Tenggara).
Sunan
Giri lahir pada tahun 1365 Saka/ 1443 Masehi di Blambangan, Jawa Timur. Beliau
adalah anak dari Syaikh Maulana Ishaq, hasil perkawinannya dengan putri
Blambangan. Dimana masyarakat Jawa lebih mengenalnya dengan nama Dewi
Sekardadu. Diceritakan bahwasannya Syikh Maulana Ishaq atau Syeh Wali Lanang
awal mulanya sengaja datang ke tanah Jawa untuk berdakwah di Nusantara, beliau
juga terrcatat sebagai Wali Songo periode pertama.
Ketika
diberi tugas untuk berdakwah di ujung timur pulau Jawa tepatnya di kerajaan
Blambangan, kondisi puteri raja saat itu sedang sakit dikarenakan wabah yang
menyerang Blambangan. Maka oleh raja Blambangan, Syaikh Maulana Ishaq diminta
untuk mengobati puteri tersebut. Syaikh Maulana Ishaq pun berhasil mengobati
Puteri dari raja Blambangan, sebagai ucapan terima kasih dari sang raja maka
beliau pun dinikahkan dengan puteri tersebut. Namun siapa sangka, keinginan Syaikh
Maulana Ishaq untuk membawa sang raja menjadi seorang muslim mendapat penolakan
sang patih, agar tidak terjadi pertentangan maka Syaikh Maulana Ishaq pun pergi
meninggalkan istana.
Pada
saat itu, Dewi Sekardadu dalam keadaan hamil tua dan tidak berapa lama kemudian
melahirkan seorang bayi laki-laki, yaitu Sunan Giri. Sunan Giri sejak dalam
kandungan sudah mengalami cobaan, dimana ia ditinggalkan oleh ayahnya untuk
berdakwah, ketika dilahirkan ia dibuang oleh Raja Menak Sembuyu atas hasutan Patih Bajul Sengara dengan cara dimasukkan ke
dalam peti kemudian dibuang ke laut. Sunan Giri ditemukan oleh
seorang bangsawan yang sedang berlajar beliau adalah Nyai Ageng Pinatih seseorang
yang sudah tidak bersuami dan tidak memiliki anak.
Nyai
Ageng Pinatih juga dikenal dengan nama Nyai Gede Tandhes, seorang wanita
bangsawan terhormat di Gresik. Sewaktu Sunan Giri berumur 12 tahun, ia dibawa
ibu angkatnya ke pesantren Ampel Denta Surabaya, yang mana Sunan Ampel
sendirilah yang mengajarinya. Sunan Giri dikenal genius, rajin dan selalu
mentaati gurunya. Ia memiliki kelebihan-kelebihan dan keistimewaan sejak kecil
sehingga Raden Rahmat atau sunan Ampel mengangkat Sunan Giri menjadi anak
angkatnya dengan dipersaudarakan Syaikh Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang.
Sunan
Giri lalu dinikahkan dengan saudara perempuan dari Syaikh Maulana Makdum
Ibrahim yakni Dewi Murtashiyah, puteri Sunan Ampel dengan Nyai Karimah kembang
kuning. Selain menikahi puteri Sunan Ampel, Sunan Giri juga menikahi Dewi
Wardah, puteri dari Kyai Ageng Bungkul atau Sunan Bungkul, seorang pembesar
kota Surabaya yang masih keturunan Majapahit.
Setelah
merasa cukup ilmu, Sunan Giri membuka pesantren di daerah perbukitan Desa
sidomukti, Kecamatan Kebomas, Gresik. Pesantrennya tak hanya dipergunakan
sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat
pengembangan masyarakat. Pesantren itu pun kemudian berkembang menjadi salah
satu pusat kekuasaan yang dikenal dengan nama Giri Kedaton. Masa pemerintahan
Sunan Giri di Giri Kedaton berlangsung dari 1487 M s/d 1506 M. Sunan Giri wafat
pada tahun 1506 M. Namun dalam masa masa ini beliau kehilanggan sosok yang merawatnya sejak kecil yakni kewafatan sang ibunda angkat Nyai Ageng Pinatih sehingga beliau menunda pembukaan pesantrennya dalam beberapa waktu.
Kiprah Dakwah Sunan Giri dalam
Perkembangan Islam di Nusantara
Sumber
tradisi Jawa menuturkan perjuangan Sunan Giri dalam mendapatkan lokasi yang
strategis seperti yang disarankan oleh guru sekaligus ayahandanya Syaikh
Maulana Ishaqdilakukan dengan menyiapkan segala kekuatan fisik maupun mental
spiritual, bermunajat kepada Allah SWT disertai dengan khadamnya. Berjalan
melewati bukit, hingga tibalah ia disebuah tempat yang sekarang terletak di Desa
Sidomukti, Kecamatan Kebomas, Gresik.
Di
tempat inilah Sunan Giri mendirikan masjid dengan pesantren serta rumah untuk
para keluarganya. Pada taraf perkembangannya, tempat tersebut menjadi pusat
kekuasaan Giri dengan terwujudnya Giri Kedaton. Ketika Raden Rahmat
meninggal (1475 M), Ampel Denta dan Gresik digabungkan atas izin raja
Majapahit.
Dalam
perkembangan selanjutnya, pusat dakwah yang telah didirikan oleh Sunan Giri
mengalami perkembangan fungsi, yang pada awalnya sebagai pusat aktivitas
pendidikan agama berkembang menjadi pusat kegiatan politik. Hal ini diceritakan
di buku “Babad Hing Gresik” : Raden Paku (Sunan
Giri) hanggenipun babat-babat hung nedi kedaton dampun dados wewengkon dalem,
saha sampun dados kedaton tunda sapta, sepale kangge shalat sepale kangge
tilem”.
Munculnya
Giri Kedaton, membawa dampak positif bagi perkembangan Islam di wilayah Giri.
Kedaton yang dilambangkan sebagai lambang kebesaran dan kemegahan bagi
pemerintahan yang syah menambah kewibawaan pemimpin atau raja yang berkuasa.
Sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yakni
adanya : alun-alun, istana dan pasar.
Pertumbuhan
Giri Kedaton mencakup lembaga pendidikan dan pusat pemerintahan ulama. Sebagai
lembaga mendidikan, Giri Kedaton menjadi madrasah tempat beliau mengajar agama
islam kepada para santrinya, yang dikenal dengan madrasah Giri atau pesantren
Giri. Sebagai pusat pemerintahan ulama, ini diawali dari kemerosotan
pemerintahan Majapahit. Melihat kejayaan pemerintahan Sunan Giri, maka penguasa
Majapahit saat itu berusaha menumbangkan kejayaan Sunan Giri namun bukan
kemenangan yang didapat melainkan kegagalan. Untuk tetap menjaga kestabilan
Majapahit saat itu, maka raja Majapahit mengakui dan menjadikan Sunan Giri
beserta Sunan Ampel menjadi orang-orang besar kerajaan Majapahit. Setelah
mendapatkan pengakuan tersebut, Sunan Ampel dan Sunan Giri beserta tokoh agama
lainnya, menjadikan Giri Kedaton sebagai pusat dakwah. Inilah salah satu metodedakwah
Wali Songo dapat diterima semua kalangan karena akhlaq dari Wali Songo yang
sangat luhur dan bijaksana seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam
berdakwah.
Metode Dakwah Sunan Giri
Sunan
Giri sebagai penggerak Islam yang berpusat di Giri Kedaton, tidak luput dari
peranannya dengan metode dakwah seperti yang dilakukan para penyebar Islam
lainnya, yaitu dengan mendirikan pesantren guna mendidik anak-anak negeri
dengan pengetahuan agama. Selain itu, upaya yang dilakukan Sunan Giri dalam
mendekatkan Islam kepada anak-anak yakni dengan menciptakan lagu serta
permainan dengan memasukkan unsur-unsur jiwa agamis.
Di
antara permainan anak-anak yang diciptakan oleh Sunan Giri yang sangat populer
di kalangan masyarakat Jawa Timur adalah “Jelungan” atau “Jitungan”. Dalam
permainan ini disimbolkan dengan satu tonggak kayu atau pohon yang kuat. Adapun
filosofi dari permainan ini adalah mengajarkan manusia tentang keselamatan
hidup yakni dengan cara berpegang teguh pada agama. Selain itu Sunan Giri juga
menciptakan lagu atau tembang yakni “Dolanan Bocah” dan
“Ilir-ilir”.
Contoh Keteladanan dari Sunan Giri
Keteladanan
yang dapat kita petik dari kisah Sunan Giri bahwasanya dalam menyebarkan Islam,
tentunya diperlukan strategi-strategi agar kegiatan dakwah kita berjalan baik
dan mengalami perkembangan. Strategi yang ditunjukkan Sunan Giri khususnya
dalam bidang politik yakni dengan menjadi “Sang Propaganda Ulung”, dimana ia
mampu menaklukkan Majapahit tanpa harus mengorbankan pertumpahan darah sehingga
akhirnya Majapahit mengakui kekuasaan beliau dan memberikan kebebasan dalam
berdakwah.
Menjadi
seorang ulama tentunya tidak hanya pengetahuan agama yang diperlukan, namun
juga kepintaran dalam pengetahuan umum, dan juga kemampuannya dalam
bernegosiasi dan kepemimpinannya di pemerintahan. Karena itu, salah satu cara
agar keberadaan kita diakui oleh pemerintahan adalah dengan ikut berkecimpung
dalam bidang politik sehingga dengan pengakuan dan legalitas yang kita dapatkan
diharapkan menjadi kemudahan bagi kita dalam menyebarkan Islam.
Jejak Sejarah yang dapat dikunjungi
Adapun
jejak sejarah yang dapat kita kunjungi yakni dengan mendatangi makam sunan
Giri. Ini bukan hanya sekedar makam biasa, namun dijadikan sebagai wisata. Yang
mana pada gapura pintu masuk makam tersebut terbuat dari batu yang berbentuk
sepasang kepala naga raja, bangunan beratap di atas makam sebagai pelindung
makam terbuat dari kayu jati asli, dindingnya terdiri dari panel (disebut juga
lumber sering) tumbuh-tumbuhan, sedangkan pintu cungkup terdapat ukiran
bermotif hindu yang dipadukan dengan motif islami yaitu tumbuh-tumbuhan. Selain
itu terdapat Giri Kedaton di Desa Sidomukti, yang tak jauh dari makam Sunan
Giri. Disana terdapat bangunan yang menjadi saksi bisu pusat kejayaan Islam di
Nusantara hingga mancanegara.
Sumber
:
Muntaha,
Moh. 1993. SUNAN GIRI ( Studi Tentang Eksistensinya dalam Kedaton Giri Dresik).
IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Santosa,
Budi., Antariksa dan Lisa Dwi Wulandari. 2014. Dinamika Ruang
Wisata Religi Makam Sunan Giri di Kabupaten Gresik. Jurnal el
Haraqah Vol. 16 No.2.